MAKALAH BIOLOGICAL HAZARD
TENTANG
“ RABIES ”
Di Susun Oleh :
YELKI ARGHA (1210038120034)
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN PADANG
PRODI
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
2014
KATA
PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ Rabies “.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih kurang sempurna. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran yang
bersifat memperbaiki makalah ini. Dalam penulisan makalah ini mendapat
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua teman yang telah membimbing.
Akhirnya penulis berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan makna tersendiri bagi para pembaca.
Padang, Maret 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang................................................................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah............................................................................................................ 1
1.3
Tujuan Penulisan.............................................................................................................. 2
BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian Rabies............................................................................................................ 3
2.2
Etimologi......................................................................................................................... 3
2.3
Masa Inkubasi.................................................................................................................. 4
2.4
Penyebab Rabies.............................................................................................................. 5
BAB III STUDI KASUS
3.1
Kejadian Rabies Di Lapangan......................................................................................... 6
3.2
Tipe – Tipe Vaksin........................................................................................................... 8
BAB IV PEMBAHASAN
4.1
Gejala Klinis.................................................................................................................... 10
4.2
Diagnosa.......................................................................................................................... 12
4.3
Pencegahan Dan Pengendalian
Rabies............................................................................ 13
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan...................................................................................................................... 16
5.2
Saran................................................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kesehatan
manusia hanya dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan jika manusia tersebut
terpapar terhadap factor lingkungan pada tingkat yang tidak dapat ditenggang
keberadaannya. Seorang tokoh di dunia kedokteran Hipokrates (460-377 SM) adalah
tokoh yang pertama-tama berpendapat bahwa penyakit itu ada hubungannya dengan fenomena
alam dan lingkungannya.
Salah
satunya penyakit rabies merupakan jenis penyakit yang didapat karena fenomena
alam dan lingkungan tersebut. Rabies disebabkan oleh gigitan anjing, kera dan
kucing serta hewan yang berdarah yang berada disekitar kita. Hal ini adalah
jelas bahwa bintang tersebut merupakan fenomena yang jelas-jelas berada di
sekeliling kita.
Rabies ditemukan
pada hampir semua negara di dunia, kecuali Australia, Inggris, sebagian besar
Skandinovia, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Selandia
Baru, Brunai, Jepang dan Taiwan. Jumlah kematian karena rabies di seluruh dunia
diperkirakan mencapai 55.000 orang pertahun dan terbanyak di negara Asia,
Afrika, Amerika Selatan dan Eurasia. Negara endemis rabies antara lain India,
Srilanka, Pakistan, Bangladesh, China, Filipina, Thailand, Indonesia, Meksiko,
Brazilia, Amerika Serikat, dan Amerika Tengah. Negara dengan kejadian tertinggi
di dunia adalah India dengan 30.000 kasus kematian pertahun atau 3 : 100.000
penduduk (1990 - 2000) kurang lebih 60 % dari kematian karena rabies di seluruh
dunia (control rabies India 2003; V (182) 11-15).
1.2
Rumusan Masalah
a.
Apa yang di maksud rabies ?
b.
Apa penyebab dari rabies ?
c.
Bagamaina gejala klinis dari rabies ?
d.
Bagaimana pencegahan dan pengendalian rabies ?
1.3
Tujuan Penulisan
a.
Untuk mengetahui yang di
maksud rabies ?
b.
Untuk mengetahui penyebab
rabies ?
c.
Untuk mengetahui gejala
klinis ?
d.
Untuk mengeahui pencegahan
dan pengendalian rabies ?
BAB II
LANDASAN
TEORI
2.1
Pengertian Rabies
Rabies adalah penyakit
infeksi tingkat akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus
rabies. Penyakit ini bersifat zoonotik, yaitu dapat ditularkan dari hewan
ke manusia. Virus rabies ditularkan ke manusia melalu
gigitan hewan misalnya oleh anjing, kucing,
kera,
rakun, dan kelelawar. Rabies disebut juga penyakit anjing
gila.
Rabies bukanlah penyakit baru
dalam sejarah perabadan manusia. Catatan tertulis mengenai perilaku anjing yang
tiba-tiba menjadi buas ditemukan pada Kode
Mesopotamia yang ditulis 4000 tahun lalu serta pada Kode Babilonia Eshunna yang ditulis pada 2300
SM. Democritus
pada 500 SM
juga menuliskan karakteristik gejala penyakit yang menyerupai rabies.
Hippocrates, Plutarch, Xenophon, Epimarcus,
Virgil, Horace,
dan Ovid adalah orang-orang yang pernah menyinggung
karakteristik rabies dalam tulisan-tulisannya. Celsius, seorang dokter
di zaman Romawi,
mengasosiasikan hidrofobia
(ketakutan terhadap air) dengan gigitan anjing, pada tahun 100 Masehi.
Cardanus, seorang penulis zaman Romawi menjelaskan sifat infeksi yang ada di air liur
anjing yang terkena rabies. Pada penulis Romawi zaman itu mendeskripsikan
rabies sebagai racun, yang mana adalah kata Latin bagi virus. Pliny dan Ovid adalah orang yang
pertama menjelaskan penyebab lain dari rabies, yang saat itu disebut cacing
lidah anjing (dog tongue worm). Untuk
mencegah rabies di masa itu, permukaan lidah
yang diduga mengandung "cacing" dipotong. Anggapan
tersebut bertahan sampai abad 19, ketika akhirnya Louis Pasteur berhasil mendemonstrasikan penyebaran
rabies dengan menumbuhkan jaringan otak yang terinfeksi pada tahun 1885
Goldwasser dan Kissling menemukan cara diagnosis rabies secara modern pada
tahun 1958, yaitu dengan teknik antibodi imunofluoresens untuk menemukan antigen rabies pada jaringan.
2.2 Etimologi
Kata rabies berasal dari bahasa Sanskerta kuno rabhas yang artinya
melakukan kekerasan/kejahatan. Dalam bahasa Yunani, rabies disebut Lyssa atau Lytaa
yang artinya kegilaan. Dalam bahasa Jerman, rabies disebut tollwut yang
berasal dari bahasa Indojerman Dhvar yang artinya merusak dan wut
yang artinya marah. Dalam bahasa Prancis, rabies disebut rage berasal
dari kata benda robere yang artinya menjadi gila.
Virus rabies merupakan virus RNA,
termasuk dalam familia Rhabdoviridae,genus Lyssa. Virus berbentuk
peluru atau silindris dengan salah satu ujungnya berbentuk kerucut dan pada
potongan melintang berbentuk bulat atau elip
(lonjong).Virus tersusun dari ribonukleokapsid dibagian tengah,
memiliki membrane selubung (amplop) dibagian luarnya yang pada
permukaannya terdapat tonjoloan (spikes) yang jumlahnya lebih dari 500
buah. Pada membran selubung (amplop) terdapat kandungan lemak yang
tinggi.Virus berukuran panjang 180 nm, diameter 75 nm, tonjolan berukuran 9 nm,
dan jarak antara spikes 4-5 nm.
Virus peka terhadap sinar ultraviolet,
zat pelarut lemak, alkohol 70 %,yodium, fenol dan klorofrom. Virus dapat
bertahan hidup selama 1 tahun dalam larutan gliserin 50 %. Pada suhu 600
C virus mati dalam waktu 1 jam dan dalam penyimpanan kering beku (freezedried)
atau pada suhu 40 C dapat tahan selama bebarapa tahun.
Gambar Struktur Virus Rabies
2.3
Masa Inkubasi
Masa inkubasi rabies pada anjing 10 – 15
hari, dan pada hewan lain 3-6 minggu kadang-kadang berlangsung sangat panjang
1-2 tahun. Masa inkubasi pada manusia yang khas adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1
minggu atau selama beberapa tahun (mungkin 6 tahun atau lebih). Biasanya lebih
cepat pada anak-anak dari pada dewasa. Kasus rabies manusia dengan periode
inkubasi yang panjang (2 sampai 7 tahun) telah dilaporkan, tetapi jarang
terjadi. Masa inkubasi bisa tergantung pada umur pasien, latar belakang
genetik, status immun, strain virus yang terlibat, dan jarak yang harus
ditempuh virus dari titik pintu masuknya ke susunan saraf pusat.5 Masa inkubasi
tergantung dari lamanya pergerakan virus dari luka sampai ke otak, pada gigitan
dikaki masa inkubasi kirakira 60 hari, pada gigitan di tangan masa inkubasi 40
hari, pada gigitan di kepala masa inkubasi kira-kira 30 hari.
2.4
Penyebab Rabies
Rabies disebabkan oleh virus
rabies yang masuk ke keluarga Rhabdoviridae dan genus
Lysavirus. Karakteristik utama virus keluarga Rhabdoviridae
adalah hanya memiliki satu utas negatif RNA
yang tidak bersegmen. Virus ini hidup pada beberapa jenis hewan yang berperan
sebagai perantara penularan. Spesies hewan perantara bervariasi pada berbagai
letak geografis. Hewan-hewan yang diketahui dapat
menjadi perantara rabies antara lain rakun
(Procyon lotor) dan sigung (Memphitis memphitis)
di Amerika Utara, rubah
merah (Vulpes vulpes) di Eropa, dan anjing di Afrika,
Asia,
dan Amerika Latin. Afrika,
Asia, dan Amerika Latin memiliki tingkat rabies yang masih tinggi Hewan
perantara menginfeksi inang yang bisa berupa hewan lain atau manusia melalui
gigitan. Infeksi juga dapat terjadi melalui jilatan hewan perantara pada kulit
yang terluka. Setelah infeksi, virus akan masuk melalui saraf-saraf menuju ke sumsum tulang belakang
dan otak dan bereplikasi di sana. Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui
saraf ke jaringan non saraf, misalnya kelenjar liur dan masuk ke dalam air
liur. Hewan yang terinfeksi bisa mengalami rabies buas/ ganas ataupun rabies
jinak/ tenang. Pada rabies buas/ ganas, hewan yang terinfeksi tampak galak,
agresif, menggigit dan menelan segala macam barang, air liur terus menetes,
meraung-raung gelisah kemudian menjadi lumpuh
dan mati. Pada rabies jinak/tenang, hewan yang terinfeksi mengalami kelumpuhan
lokal atau kelumpuhan total, suka bersembunyi di tempat gelap, mengalami kejang
dan sulit bernapas, serta menunjukkan kegalakan.
Meskipun sangat jarang terjadi,
rabies bisa ditularkan melalui penghirupan udara
yang tercemar virus rabies. Dua pekerja laboratorium telah mengkonfirmasi hal ini setelah
mereka terekspos udara yang mengandung virus rabies. Pada tahun 1950,
dilaporkan dua kasus rabies terjadi pada penjelajah gua di Frio
Cave, Texas yang menghirup udara
di mana ada jutaan kelelawar hidup di tempat tersebut. Mereka diduga tertular
lewat udara karena tidak ditemukan sama sekali adanya tanda-tanda bekas gigitan
kelelawar.
BAB
III
STUDY
KASUS
3.1
Kejadian
Rabies Di Lapangan
Kejadian (kasus) positif rabies di
lapangan dipengaruhi oleh :
a. Pola
Penggigitan
Ada 2 pola penggigitan oleh anjing
terhadap manusia yaitu :
a. Penggigitan karena provokasi
Penggigitan yang terjadi disini
didahului oleh adanya gangguan langsung atau tidak langsung. Pada anjing yang
sedang beranak biasanya naluri untuk melindungi anaknya sangat kuat sehingga
sangat mudah sekali anjing menyerang dan menggigit apalagi kalau diganggu.
Bentuk-bentuk provokasi terhadap anjing sangat beragam dari mulai
memukul, menyeret ekor sampai dengan menggoda anjing yang sedang tidur. Hal
tersebut akan menstimulasi anjing untuk menggigit. Bahkan pada kejadian lain
orang membawa makanan yang lewat didepan anjing yang sedang lapar dapat memicu
terjadinya penggigitan.
b. Penggigitan tanpa provokasi
Dalam hal ini anjing menyerang dan
menggigit secara tiba-tiba tanpa adanya gangguan dalam bentuk apapun.
Dilapangan anjing yang menggigit secara tibatiba tadi biasanya sudah menjadi ”wandering-dog”
atau anjing lontang-lantung yang berjalan tanpa tujuan dan menyerang serta
menggigit siapa saja yang ditemuinya. Anjing tersebut biasanya adalah anjing
liar atau anjing peliharaan yang ditelantarkan sehingga menjadi liar.
b. Pola Penyebaran
Penularan rabies di lapangan (rural
rabies) berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak dipelihara dengan baik
atau anjing liar yang merupakan ciri khas yang ada di perdesaan yang berkembang
dan sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan
suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis. Secara alami yang sering
terjadi pola penyebaran rabies.
Pada umumnya manusia merupakan ”dead
end” atau terminal akhir dari korban gigitan. Karena sampai saat ini belum
ada kasus manusia menggigit anjing. Baik anjing liar, anjing peliharaan yang
menjadi liar maupun anjing peliharaan, setiap saat dapat menggigit manusia.
Sementara itu anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar dapat menggigit
satu sama lain. Kalau salah satu diantara anjing yang menggigit tersebut
positif rabies, maka akan terjadi kasus-kasus positif (+) rabies yang semakin
tinggi.
Pembagian Status Daerah Rabies
1.
Daerah Bebas
Kriterianya :
- Daerah yang secara historis tidak pernah ditemukan
penyakit rabies.
- Daerah yang tertular rabies tapi dalam 2 tahun
terakhir tidak ada kasus secara klinis dan epidemiologis serta sudah
dikonfirmasi secara laboratoris.
2.
Daerah Tertular
Kriterianya :
- Daerah yang dalam 2 tahun terakhir pernah ada
kasus pada hewan dan manusia (baik secara berurutan atau tunggal) secara klinis
epidemiologis dan dikonfirmasi secara laboratoris. Khusus untuk manusia
kasusnya berasal dari daerah tersebut (bukan kasus import).
3.
Daerah Tersangka
Kriterianya :
- Daerah yang dalam 2 tahun terakhir ada kasus
rabies secara klinis dan epidemiologis tapi belum dibuktikan secara
laboratoris.
- Daerah yang berbatasan langsung dalam satu daratan
dengan daerah tertular.
Penderita gigitan Anjing, Kucing, Kera segera :
- Cuci luka gigitan dengan sabun, detergent lain
di air mengalir selama 10 – 15 menit dan beri anti septik (betadine,
alkohol 70 %, obat merah dll).
- Segera ke Puskesmas/ Rabies Center/ Rumah Sakit
untuk mencari pertolongan selanjutnya.
Di Puskesmas/ Rabies Center/ Rumah Sakit di lakukan
:
Penanganan luka gigitan :
- Ulangi cuci luka gigitan dengan sabun, detergent
lain di air mengalir selama 10 – 15 menit dan beri anti septik (betadine,
alkohol 70 %, obat merah dll).
- Amamnesis apakah didahului tindakan provokatif,
hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies, penderita gigitan hewan pernah divaksinasi
dan kapan, hewan penggigit pernah divaksinasi dan kapan.
- Identifikasi luka gigitan
·
Luka resiko tinggi : Jilatan/luka pada
mukosa,luka diatas daerah bahu (mukosa, leher, kepala), luka pada jari tangan,
kaki, genetalia, luka lebar/dalam dan luka yang banyak multiple wound).
·
VAR (Vaksin Anti Rabies)
1.
Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)
Produksi Institute Merieux Perancis (Verorab)
Dosis
Dewasa/anak sama yaitu : hari ke 0 (pertama berkunjung ke Puskesmas/
Rabies Center/ Rumah Sakit). Diberikan 2 dosis @ 0,5 ml diberikan deltoideus
kanan/kiri. Hari ke 7 dan 21 diberikan 0,5 ml lagi secara intra muskuler
di deltoideus kanan/kiri. Apabila VAR Verorab + SAR perlu diberikan booster
pada hari ke 90.
2.
Suckling Mice Brain Veccine (SMBV)
Produksi Bio Farma Bandung.
Dosis : Dewasa, dasar 2 ml, diberikan 7x setiap hari
sub cutan didaerah sekitar pusar/umbillus. Ulangan 0,25 ml
diberikan ke 11,15,30 dan 90 secara intra cutan dibagian fleksor lengan
bawah.
Anak-anak 3 tahun ke bawah, dasar 1 ml diberikan 7x
setiap hari sub cutan disekitar daerah sekitar pusar/umbillus.
Ulangan 0,1 ml diberikan hari ke 11,15,30,dan 90 secara intra cutan dibagian
fleksor lengan bawah. Pemberian SMBV + SAR (Serum Anti Rabies) Jadwal pemberian
VAR dasar sama ulangan boostar jadwalnya 11, 15, 25, 35, dan 90. SAR
(Serum Anti Rabies) SAR Heterolog (serum kuda) produksi Bio Farma Bandung,
dosis 40 IU/Kg BB, harus dilakukan skin test positif tidak boleh
diberikan, kemasan vial = 20 ml(1 ml = 100 IU) Serum omolog, misal
IMDGAM produksi Pasteur Merieux Perancis, dosis 20 IU/Kg kemasan Vial
2 ml (1ml = 150 IU) cara pemberian disuntikkan secara infiltrasi disekitar
luka sebanyak mungkin sisanya intra muskuler di gluleus/pantat.
3.2
Tipe-Tipe
Vaksin
Semua vaksin rabies untuk manusia
mengandung virus rabies yang telah diinaktifkan.
1. Vaksin sel diploid manusia (HDCV)
Untuk mendapkatkan suatu suspensi virus
rabies yang bebas dari protein asing dan protein sistem saraf, virus rabies
diadaptasi untuk tumbuh dalam lini sel fibroblast normal manusia
WI-38. Preparasi virus rabies dipekatkan oleh ultrafiltrasi dan
diinaktivasi dengan β-propiolakton. Tidak ada reaksi ensefalitik ataupun
anafilaktik serius yang pernah dilaporkan.
2. Vaksin rabies, terabsorbsi (RVA)
Suatu vaksin yang dibuat dalam lini
sel diploid yang berasal dari sel-sel paru janin kera rhesus diijinkan
di AS tahun 1988. Virus vaksin ini diinaktivasi oleh β- propiolakton dan
dipekatkan oleh adsorbsi dengan aluminium fosfat.
3. Vaksin sel embrio ayam yang dimurnikan (PCEC)
Vaksin ini dipreparasi dari strain virus
rabies fixed flury LEP yang tumbuh dalam fibroblast ayam.
Diinaktivasi oleh β-propiolakton dan dimurnikan lebih lanjut oleh sentrifugasi
zonal.
4. Vaksin jaringan saraf
Dibuat dari otak domba, kambing atau
tikus yang terinfeksi dan digunakan di banyak bagian dunia termasuk Asia,
Afrika dan Amerika Selatan. Menimbulkan sensitisasi pada jaringan saraf
dan menghasilkan ensefalitis pasca vaksinasi (suatu penyakit alergi)
dengan frekuensi subscansial (0,05%). Perkiraan efektivitasnya pada
orang yang digigit oleh hewan buas/gila bervariasi dari 5 sampai 50%.
5. Vaksin embrio bebek
Vaksin ini dikembangkan untuk
meminimalkan masalah ensefalitis pasca vaksinasi. Virus rabies ditanam
dalam telur bebek berembrio. Jarang terdapat reaksi anafilaktik, tetapi antigenisitas
vaksinnya rendah, sehingga beberapa dosis harus diuji untuk
mendapatkan respon antibodi yang memuaskan.
6. Virus hidup yang dilemahkan
Virus hidup yang dilemahkan yang
diadaptasi untuk tumbuh pada embrio ayam (misalnya, strai flury) digunakan
untuk hewan tetapi tidak untuk manusia. Kadang-kadang vaksin demikian bisa
menyebabkan kematian oleh rabies pada kucing atau anjing yang disuntik. Virus
rabies yang tumbuh pada biakan sel hewan yang berlainan telah dipakai sebagai
vaksin untuk hewan piaraan.
BAB
IV
PEMBAHASAN
Rabies
merupakan salah satu penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang ditularkan dari
hewan ke manusia, di mana agen infektifnya berupa virus rabies yang menginfeksi
susunan saraf pusat. Rabies yang menginfeksi kucing, anjing, atau kera dapat
menular ke manusia melalui kontak dengan kelenjar saliva (air liur) hewan yang
terinfeksi.
4.1
Gejala Klinis
a.
Pada Hewan
Gejala
klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium :
1. Stadium Prodromal
Keadaan ini merupakan tahapan awal
gejala klinis yang dapat berlangsung antara 2-3 hari. Pada tahap ini akan
terlihat adanya perubahan temperamen yang masih ringan. Hewan mulai mencari
tempat-tempat yang dingin/gelap, menyendiri, reflek kornea berkurang, pupil
melebar dan hewan terlihat acuh terhadap tuannya. Hewan menjadi sangat perasa,
mudah terkejut dan cepat berontak bila ada provokasi. Dalam keadaan ini
perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu badan.
2. Stadium Eksitasi
Tahap eksitasi berlangsung lebih
lama daripada tahap prodromal, bahkan dapat berlangsung selama 3-7 hari.
Hewan mulai garang, menyerang hewan lain ataupun manusia yang dijumpai dan hipersalivasi.
Dalam keadaan tidak ada provokasi hewan menjadi murung terkesan lelah
dan selalu tampak seperti ketakutan. Hewan mengalami fotopobi atau takut
melihat sinar sehingga bila ada cahaya akan bereaksi secara berlebihan dan
tampak ketakutan.
3. Stadium
Paralisis.
Tahap paralisis ini dapat
berlangsung secara singkat, sehingga sulit untuk dikenali atau bahkan tidak
terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Hewan mengalami kesulitan
menelan, suara parau, sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati.
b.
Pada Manusia
Gejala klinis pada
manusia dibagi menjadi empat stadium :
1. Stadium Prodromal
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus
menyerang susunan saraf pusat adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual,
sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah
dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.
2. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas
disertai kesemutan pada tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas
dan reaksi yang berlebihan terhadap ransangan sensoris.
3. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik
menjadi meninggi dengan gejala berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa
haus, ketakutan terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras.
Umumnya selalu merintih sebelum kesadaran hilang. Penderita menjadi bingung,
gelisah, rasa tidak nyaman dan ketidak beraturan. Kebingungan menjadi semakin
hebat dan berkembang menjadi argresif, halusinasi,dan selalu ketakutan. Tubuh
gemetar atau kaku kejang.
4. Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies
meninggal dalam stadium eksitasi. Kadangkadang ditemukan juga kasus
tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang
bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang yang
memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.
Patogenesis
Cara penularan melalui gigitan dan non
gigitan (aerogen, transplantasi,kontak dengan bahan mengandung virus
rabies pada kulit lecet atau mukosa).Cakaran oleh kuku hewan penular rabies
adalah berbahaya karena binatang menjilati kuku-kukunya. Saliva yang
ditempatkan pada permukaan mukosa seperti konjungtiva mungkin
infeksius. Ekskreta kelelawar yang mengandung virus rabies cukup untuk
menimbulkan bahaya rabies pada mereka yang masuk gua yang terinfeksi dan menghirup
aerosol yang diciptakan oleh kelelawar. Penularan rabies melalui transplan
kornea dari penderita dengan ensefalitis rabies yang tidak
didiagnosis pada resipen/penerima sehat telah direkam dengan cukup
sering. Penularan dari orang ke orang secara teoritis mungkin tetapi kurang
terdokumentasi dan jarang terjadi. Luka gigitan biasanya merupakan tempat masuk
virus melalui saliva, virus tidak bisa masuk melalui kulit utuh. Setelah
virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap
tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung
serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan
fungsinya.Bagian otak yang terserang adalah medulla oblongata dan
annon’s hoorn. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan
menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi
khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak.
Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke
arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf
volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus ini menyerang
hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh dan berkembang biak dalam
jaringan- jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan sebagainya. Gambaran yang
paling menonjol dalam infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas
yang terdapat dalam sitoplasma sel ganglion besar.
Gambar Negri Body Di Neuron
4.2
Diagnosa
a.
Diagnosa Lapangan
Untuk memperoleh tingkat akurasi yang
tinggi, cara yang paling tepat adalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai
berikut ;
- Anjing yang menggigit harus ditangkap dan
diobservasi.
- Riwayat penggigitan, ada tidaknya provokasi.
- Jumlah penderita gigitan.
Penahanan dan observasi klinis
selama 10 - 15 hari dilakukan terhadap anjing, kucing yang walaupun tampak
sehat dan diketahui telah menggigit orang (sedangkan anjing atau kucing yang
tidak ada pemiliknya dapat langsung dibunuh dan diperiksa otaknya).
Berdasarkan pengalaman di lapangan,
anjing menggigit lebih dari satu orang tanpa didahului oleh adanya provokasi
dan anjing tersebut mati dalam masa observasi yang kemudian specimen
otaknya diperiksa dilaboratorium hasilnya adalah positif rabies,
selanjutnya indikasi kecenderungan rabies di lapangan tanpa adanya tindakan provokasi
dapat ditentukan sebagai berikut :
- Hewan menggigit 1 orang tanpa provokasi kemungkinan
(positif) rabies 25 %.
- Hewan menggigit 2 orang tanpa provokasi kemungkinan
(positif) rabies 50 %.
- Hewan menggigit 3 orang tanpa provokasi kemungkinan
(positif) rabies 75 %.
- Hewan menggigit 4 orang tanpa provokasi kemungkinan
(positif) rabies 100 %.
b. Diagnosa
Laboratorium
Diagnosa rabies secara laboratorium
didasarkan atas :
a. Penemuan badan negri (negri body).
b. Penemuan antigen.
c. Penemuan virus (isolasi).
Antigen,
badan negri dan virus banyak ditemukan pada sel saraf (neuron)sedangkan
kelenjar ludah dapat mengandung antigen dan virus tetapi badan negri
tidak selalu dapat ditemukan pada kelenjar ludah anjing. Adanya kontaminasi
pada specimen dapat mengganggu pemeriksaan dan khususnya untuk ”isolasi
virus” pengiriman harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kelestarian
hidup virus dalam specimen tetap terjamin sampai ke laboratorium.23
Bahan pemeriksaan dapat berupa seluruh kepala, otak, hippocampus, cortex
cerbri dan cerebellum, preparat pada gelas objek dan kelenjar
ludah. Bila negri body tidak ditemukan, supensi otak (hippocampus)
atau kelenjar ludah sub maksiler diinokulasikan intrakranial pada hewan
coba (suckling animals), misalnya hamster, tikus atau kelinci.
Cara diagnosis rabies secara laboratoris dapat
dilakukan dengan :
a. Mikroskopis untuk melihat dan menemukan badan
negri, yakni pewarnaan cepat Sellers, FAT (Fluorescence Antibody
Technique) dan histopatologik.
b. Antigen-antibody reaksi dengan uji virus
nertralisasi, gel agar presipitasi atau reaksi peningkatan komplemen dan
FAT Isolasi virus secara biologis pada mencit atau in vitro pada
biakan jaringan diikuti identifikasi isolat dengan cara pewarnaan FAT
atau uji virus netralisasi.
4.3
Pencegahan Dan
Pengendalian Rabies
a. Pencegahan
Rabies
·
Pencegahan
Primer
1. Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing, kucing,
kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies.
2. Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan
sebangsanya yang masuk tanpa izin ke daerah bebas rabies.
3. Dilarang melakukan vaksinasi atau memasukkan
vaksin rabies kedaerah daerah bebas rabies.
4. Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing,
kucing dan kera, 70% populasi yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar
lokasi kasus.
5. Pemberian tanda bukti atau pening terhadap
setiap kera, anjing, kucing yang telah divaksinasi.
6. Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan
anjing tak bertuan dengan jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan.
7. Anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran,
harus didaftarkan ke Kantor Kepala Desa/Kelurahan atau Petugas Dinas Peternakan
setempat.
8. Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya
tidak boleh lebih dari 2 meter. Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus
diikat dengan rantai tidak lebih dari 2 meter dan moncongnya harus menggunakan berangus
(beronsong).
9. Menangkap dan melaksanakan observasi hewan
tersangka menderita rabies, selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati
selama observasi atau yang dibunuh, maka harus diambil spesimen untuk dikirimkan
ke laboratorium terdekat untuk diagnosa.
10.Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing,
kucing, kera dan hewan sebangsanya yang bertempat sehalaman dengan hewan
tersangka rabies.
11.Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati
karena rabies
sekurang-kurangnya 1 meter.
·
Pencegahan
Sekunder
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan
untuk meminimalkan resiko tertularnya rabies adalah mencuci luka gigitan dengan
sabun atau dengan deterjen selama 5-10 menit dibawah air mengalir/diguyur.
Kemudian luka diberi alkohol 70% atau Yodium tincture. Setelah itu pergi
secepatnya ke Puskesmas atau Dokter yang terdekat untuk mendapatkan pengobatan sementara
sambil menunggu hasil dari rumah observasi hewan. Resiko yang dihadapi oleh
orang yang mengidap rabies sangat besar. Oleh karena itu, setiap orang digigit
oleh hewan tersangka rabies atau digigit oleh anjing di daerah endemic rabies
harus sedini mungkin mendapat pertolongan setelah terjadinya gigitan sampai
dapat dibuktikan bahwa tidak benar adanya infeksi rabies.
·
Pencegahan
Tersier
Tujuan dari tiga tahapan pencegahan
adalah membatasi atau menghalangi perkembangan ketidakmampuan, kondisi, atau
gangguan sehingga tidak berkembang ke tahap lanjut yang membutuhkan perawatan intensif
yang mencakup pembatasan terhadap ketidakmampuan dengan
menyediakan rehabilitasi. Apabila hewan yang
dimaksud ternyata menderita rabies berdasarkan pemeriksaan klinis atau
laboratorium dari Dinas Perternakan, maka orang yang digigit atau dijilat
tersebut harus segera mendapatkan pengobatan khusus (Pasteur Treatment)
di Unit Kesehatan yang mempunyai fasilitas pengobatan Anti Rabies dengan
lengkap.
b.
Pengendalian Rabies
·
Aturan
Perundangan
Upaya pencegahan dan pengendalian rabies
telah dilakukan sejak lama, di Indonesia dilaksanakan melalui kegiatan terpadu
secara lintas sektoral antara lain dengan adanya Surat Keputusan Bersama 3
Menteri yaitu Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, dan Menteri Dalam Negeri
No: 279A/MenKes/SK/VIII/1978; No: 522/Kpts/Um/8/78; dan No: 143/tahun1978.
Penerapan aturan perundangan ini perlu
ditegakkan, agar pelaksanaan di lapangan lebih efektif dan secara tegas
memberikan otoritas kepada pelaksana untuk melakukan kewajibannya sesuai dengan
aturan perundangan yang ada, baik tingkat nasional, tingkat kawasaan, maupun
tingkat lokal.
·
Surveilans
Pelaksanaan surveilans untuk
rabies merupakan dasar dari semua program dalam rangka pengendalian penyakit
ini. Data epidemiologi harus dikumpulkan sebaik mungkin, dianalisis, dipetakan,
dan bila mungkin segera didistribusikan secepat mungkin. Informasi ini juga
penting untuk dasar perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan program
pengendalian.
·
Vaksinasi
Rabies
Untuk mencegah terjadinya penularan rabies, maka
anjing, kucing, atau kera dapat diberi vaksin inaktif atau yang dilemahkan (attenuated).
Untuk memperoleh kualitas vaksin yang efektif dan efisien, ada beberapa
persyaratan yang harus dipenui, baik vaksin yang digunakan bagi hewan maupun
bagi manusia, yakni :
a) Vaksin
harus dijamin aman dalam pemakaian.
b) Vaksin
harus memiliki potensi daya lindung yang tinggi.
c) Vaksin
harus mampu memberikan perlindungan kekebalan yang lama.
d) Vaksin
arus mudah dalam cara aplikasinya.
e) Vaksin
harus stabil dan menghasilkan waktu kadaluwarsa yang lama.
f) Vaksin
harus selalu tersedia dan mudah didapat sewaktu-waktu dibutuhkan.
BAB
V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia, di mana agen infektifnya berupa virus rabies yang menginfeksi susunan saraf pusat.
Rabies disebabkan oleh virus rabies
yang masuk ke keluarga Rhabdoviridae dan genus Lysavirus.
Penyakit
rabies ditularkan melalui gigitan binatang. Kuman yang terdapat dalam air liur
binatang ini akan masuk ke aliran darah dan menginfeksi tubuh manusia.
Masa inkubasi adalah waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala penyakit . Masa inkubasi penyakit Rabies pada anjing dan kucing kurang lebih 2 minggu (10 hari- 14 hari). Pada manusia 2-3 minggu dan paling lama 1 tahun.
Masa inkubasi adalah waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala penyakit . Masa inkubasi penyakit Rabies pada anjing dan kucing kurang lebih 2 minggu (10 hari- 14 hari). Pada manusia 2-3 minggu dan paling lama 1 tahun.
untuk
pengendalian saat ini, WHO telah mengendalikan penularan rabies dengan
melakukan pemberian vaksin ke beberapa negara berkembang, meskipun dalam jumlah
yang terbatas.Vaksin immunoglobulin (antibodi) yang direkomendasikan untuk
kasus rabies kategori III memiliki harga yang mahal dan diberikan dalam jumlah
yang sangat terbatas. Oleh karena itu, WHO memberikan vaksin immunoglobulin
rabies yang berasal dari kuda (purified equine immunoglobulin) untuk digunakan
sebagai campuran immunoglobulin manusia untuk menutupi kekurangan vaksin di
beberapa negara ini.
5.2 Saran
Untuk mendapatkan persentase antibodi
rabies protektif yang memadai, disarankan untuk melakukan booster (vaksinasi
ulangan) setelah 6 bulan vaksinasi pertama. Untuk memperkaya khasanah pengetahuan
terhadap respon imun vaksinasi rabies, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas vaksin rabies.
DAFTAR
PUSTAKA
Madigan MT; Martinko JM, Dunlap PV, Clark DP (2009). Brock
Biology of Microorganisms Twelfth Edition. hlm. 1003–1005
Smith JS (1996). "New
aspects of rabies with emphasis on epidemiology, diagnosis, and prevention of
the disease in the United States" (pdf). Clin Microbiol Rev 9 (2): 166, 171.
Steele, JH; Fernandez, J (1991), "History of Rabies and
Global Aspects", in Baer, GM, The Natural History of Rabies (ed.
2), Boca Raton, Florida: CRC Press, Inc., hlm. 1, ISBN 0849367603.
Adriana S.T.P., J.L.F.Santos, C.L. Botelho, and
Z.C.Roberto. 1999. An ELISA suitable for the detection of rabies virus
antibodies in serum samples from human vaccinated with either cell culture
vaccine or sukling mouse brain vaccine. Rev. Inst. Med. Trop.S.Paulo.41(1).
Adjid.R.M.A., A.Sarosa, T.Syapriati, dan Yuningsih.
2005. Penyakit rabies di Indonesia dan pengembangan teknik diagnosisnya.
Wartazoa. 15(4 ) : 165-172
Tidak ada komentar:
Posting Komentar